Minggu, 29 Mei 2016

BELAJAR HIDUP DARI SEBUAH API UNGGUN

Belajar Hidup Dari Sebuah Api Unggun

Menerangi tapi tidak melelehkan. Menghangatkan tapi tidak meludeskan. Menawarkan percik percik api tapi berbentuk semangat.

Apa syaratnya jika ingin menjadi seorang pendaki? Syarat paling dasar adalah kemauan. Katakanlah kita ahli dalam bidang perapian. Tapi jika kita tidak punya kemauan untuk membuat api unggun, maka jangan harap kita akan bisa menikmati hangatnya.

Setelah kemauan, hal paling vital yang harus kita miliki adalah pemantik api. Ya, kita harus memiliki sesuatu yang bisa mengundang datangnya api. Kenapa harus api? Karena bukan api unggun namanya jika tidak ada api, hehe.

Api identik dengan semangat. Dan itu yang harus dimiliki oleh seorang pendaki

Oke, kemauan sudah ada dan pemantik api sudah tergenggam. Lalu apa yang harus kita lakukan? Mengumpulkan ranting ranting kering, itu jawabannya. Kita susun sedemikian rupa lalu kita nyalakan. Maka jadilah api unggun.

Mendakipun demikian. Kita butuh semangat untuk kemudian kita susun semuanya hingga menjadi sebuah kekuatan. Sesederhana itu saja.

seperti yang kita tahu, hanya api kecil yang bisa kita jadikan teman. Begitu juga dengan jika kita membuat api unggun. Kita harus membuat batasan batasan untuk memastikan api tidak menjalar. mendaki juga seperti itu. Kita harus mampu memanage proses perjalanan kita menjadi seefisien mungkin. Menentukan waktu mendaki misalnya.

Sebuah pelajaran lagi yang bisa kita petik dari filosofi api unggun adalah tentang konsekuensi. Berani membuat api unggun berarti berani menanam pohon. Kenapa demikian? Karena api unggun berbanding dengan penggunaan ranting dan kayu. Dan itu semua berasal dari pohon. Tidak mencampur api unggun dengan sampah yang menghasilkan asap tidak sedap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar